Economic Analysis of Law sebagai Pendekatan Berbasis “Kemanfaatan” dalam Penyelesaian Perkara melalui Mediasi
Economic Analysis of Law sebagai Pendekatan Berbasis “Kemanfaatan” dalam Penyelesaian Perkara melalui Mediasi
Mediakotaonline, Mahkamah Agung RI Jakarta,Kamis 06 Februari 2025 - Dalam proses peradilan, mediasi memiliki dasar hukum tersendiri yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016.
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan tiga tujuan hukum yang hendak dicapai para pencari keadilan melalui institusi peradilan.
Melalui lembaga peradilan, setiap permasalahan hukum yang diajukan masyarakat wajib diterima dan diputus.
Hal itu, sebagaimana tercermin dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) yang menyebut, “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Konsekuensi logis dari adanya kewajiban utama tersebut, mengharuskan lembaga peradilan menyusun suatu prosedur penyelesaian perkara yang efektif dan efisien, salah satunya melalui penyelesaian perkara dengan upaya perdamaian.
Penyelesaian perkara melalui upaya perdamaian diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menentukan bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.
Merujuk pada ketentuan tersebut, diketahui bahwa upaya perdamaian diterapkan terkhusus pada perkara perdata.
Meskipun dalam perkembangannya, upaya perdamaian tidak hanya diterapkan dalam perkara perdata, seperti halnya penyelesaian perkara secara restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana.
Upaya perdamaian dalam perkara perdata dikenal dengan sebutan mediasi. Mediasi secara umum dan mediasi dalam proses peradilan, tentunya memiliki prosedur yang berbeda meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu, tercapainya perdamaian di antara para pihak.
Dalam proses peradilan, mediasi memiliki dasar hukum tersendiri yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang berorientasi pada peningkatan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Dari sisi teori, proses mediasi sekilas tampak sebagai langkah yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan suatu sengketa di pengadilan. Namun dalam praktiknya, proses untuk mencapai kata “damai” di antara para pihak memiliki tantangan tersendiri bagi para hakim saat menjalani perannya sebagai Hakim Mediator.
Sehingga, seringkali mediasi yang harus dilalui oleh para pihak hanya sebatas prosedur yang bersifat formalitas belaka. Ini mengingat mediasi adalah proses yang wajib dilalui sebelum persidangan.
Tantangan tersebut, tentunya tidak lepas dari kepiawaian Hakim Mediator membuka hati agar para pihak, bersedia menurunkan sisi egosenstris di tengah gelora amarah yang ada di hati akibat permasalahan yang dihadapi para pihak.
Tantangan ini bukan hal yang mudah, karena ketika mediasi berlangsung, Hakim Mediator dihadapkan pada berbagai perilaku manusia. Sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan berbasis keilmuan tentang perilaku manusia (scientific theories of behavior).
Berbicara mengenai scientific theories of behavior, kita akan selalu diarahkan pada ilmu hukum atau sosiologi hukum. Senyatanya, kedua ilmu tersebut mengkaji hal-hal yang bersifat interaktif antarsesama manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Namun, tidak banyak yang melihat bahwa ilmu ekonomi juga mempelajari perilaku-perilaku manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pengambilan keputusan. Dalam perspektif ekonomi, manusia adalah makhluk yang rasional dan sekaligus makhluk ekonomi. Di mana, dalam mengambil tindakan lebih mengutamakan nilai ekonomis dengan pertimbangan ekonomis.
Itulah sebbanya, perpaduan antara ilmu ekonomi dan ilmu hukum adalah keniscayaan. Ini karena, pada hakikatnya kedua ilmu tersebut memiliki persamaan dan keterikatan di dalam ilmu perilaku. Secara teoretis, perpaduan antara kedua ilmu tersebut dikenal dengan istilah pendekatan ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).
Singkatnya, economic analysis of law adalah pendekatan yang berbasis risk or benefit. Di mana, dalam pengambilan keputusan berdasarkan pada risiko dan manfaat dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Pendekatan ini memberikan pandangan baru tentang hukum terkait pola perilaku manusia yang hanya dilihat sebagai “benar dan salah” atau “right or wrong”, diubah menjadi “risiko dan manfaat” atau “risk or benefit” dan esensi dari pendekatan “risk or benefit” adalah efisiensi perilaku manusia.
Pendekatan ini, berakar dari perpaduan aliran utilitarianisme Jeremy Bentham dengan kajian ekonomi dari Adam Smith. Di mana, hukum harus menciptakan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk orang terbanyak (the greatest happiness of great number)
Berbicara mengenai pertimbangan-pertimbangan ekonomi, para pakar hukum dan ekonomi dalam membangun analisisnya, menggunakan konsep ekonomi yang berbeda tetapi tetap bermuara pada tujuan utama yaitu the greatest happiness of great number. Salah satunya adalah pandangan yang dikemukakan oleh Richard A. Posner.
Posner mengemukakan, Economic Analysis of Law dapat menjadi suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula, untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satisfaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness).
Pendekatan ini, erat kaitannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan sebagai economic tools untuk mencapai maximization of happiness.
Di mana, pendekatan dan penggunaan analisis harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan tidak menghilangkan unsur keadilan. Dengan begitu, keadilan dapat menjadi economic standard yang berdasarkan pada tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia.
1. Konsep Nilai (Value)
Nilai (value) dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki arti atau kepentingan (significance), keinginan atau hasrat (desirability) terhadap suatu objek. Baik dalam bentuk moneter maupun nonmoneter. Sehingga sifat yang melekat padanya mencerminkan kepentingan pribadi (self-interest) manusia dalam mencapai kepuasan.
Nilai dapat diidentifikasi melalui karakteristik yang melekat padanya, yaitu harapan akan keuntungan (anticipated return) atau kerugian. Penilaian manusia dalam menetapkan suatu nilai selalu berfokus pada relevansi peningkatan kemakmuran (wealth maximization).
Keuntungan ekonomis didefinisikan sebagai Keuntungan Ekonomi = Total Pendapatan - (Biaya Eksplisit + Biaya Implisit), dan/atau keuntungan ekonomis mencerminkan kepuasan atau kebahagiaan yang bersifat moneter dan nonmoneter yang berkaitan dengan total utilitas.
2. Konsep Kegunaan (Utility)
Utilitas adalah manfaat yang diperoleh dari pengambilan keputusan dalam memilih opsi di antara alternatif penggunaannya. Dalam Economic Analysis of Law, konsep utilitas merujuk pada kegunaan atau manfaat barang ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan yang berkontribusi terhadap kesejahteraan.
Ada dua jenis pengertian utilitas dalam Economic Analysis of Law; pertama, pengharapan kegunaan (anticipated utility) yang didefinisikan sebagai kebahagiaan menurut pemikir utilitarian. Kedua, utilitas dalam konteks yang digunakan oleh filsuf utilitarianisme, yaitu kebahagiaan.
3. Konsep Efisiensi (Efficiency)
Terdapat tiga teori yang digunakan dalam menganalisis konsep efisiensi ini, yaitu Pareto Efficiency, Kaldor-Hicks Efficiency, dan Coase Theorem. Dari ketiga teori tersebut, Coase Theorem tampaknya lebih relevan dalam menganalisis suatu peraturan perundang-undangan.
Ronald Coase menganalisis hubungan antara aturan pertanggungjawaban dan alokasi sumber daya. Menurutnya, suatu peraturan hukum baru dapat dianggap bermanfaat dan perlu dipertahankan, jika mampu meminimalkan biaya (efisiensi biaya).
Biaya ini tidak hanya berlaku untuk pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, tetapi juga harus mempertimbangkan bentuk-bentuk eksternalitas yang harus ditanggung masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa eksternalitas yang harus ditanggung satu generasi seringkali berlanjut hingga generasi-generasi berikutnya.
Eksternalitas sendiri adalah biaya atau manfaat yang timbul dari suatu transaksi, yang harus ditanggung atau diterima oleh pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam transaksi tersebut.
Berdasarkan tiga nilai dasar tersebut, dapat diketahui bahwa nilai-nilai ini tidak berdiri sendiri dan menjadi kesatuan dalam mengevaluasi porsi-porsi ekonomi dalam mengkaji suatu permasalahan hukum.
Pendekatan ini, dapat digunakan selama proses mediasi. di mana Hakim Mediator membantu memecahkan permasalahan hukum dengan memberikan alternatif keputusan atau memberikan sudut pandang terkait keputusan yang hendak diambil oleh para pihak, dengan memperhatikan risiko dan manfaat yang akan diterima dari keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Pada akhirnya, manusia adalah makhluk rasional. Konteks kepuasan manusia sifatnya tidak terbatas dan manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah diperoleh atau dicapai. Sehingga, manusia selalu terdorong untuk mengambil keputusan terbaik dari pilihan-pilihan yang ada.
Oleh karena itu, selama proses mediasi, Hakim Mediator dapat berperan aktif dengan memberikan sudut pandang. Baik dari sisi ekonomi dan hukum dari pilihan yang hendak diambil, untuk mencapai kepuasan maksimal yang diharapkan oleh para pihak, dengan menggunakan naluri alamiah manusia yang adalah seorang rational maximizer.
Komentar
Posting Komentar