Dua Guru Honorer Gabung Jadi Pemohon Uji UU Minerba
MKO, JAKARTA, HUMAS MKRI, Rabu,19 November 2025 – Guru Honorer Iqro’ Katsir dan Alif Alvian Mawaddi Hamid ikut bergabung menjadi Pemohon pengujian materiil Pasal 51B ayat (1) dan ayat (2) huruf d, Pasal 60B ayat (1) dan ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Hal itu disampaikan dalam sidang perbaikan permohonan Perkara Nomor 202/PUU-XXIII/2025.
Dengan demikian, permohonan ini diajukan oleh empat Pemohon bersama Direktur PT Pinter Hukum Indonesia Ilham Fariduz Zaman dan Direktur PT Cipta Kemenangan Nusantara Imam Rohmatulloh.
Melalui kuasa hukumnya, A. Fahrur Rozi, masing-masing Pemohon menjelaskan kedudukan hukum atau legal standing sebagai warga negara yang berpotensi mengalami kerugian hak konstitusional atas berlakunya norma yang diuji dalam permohonan ini.
“Kami akhirnya di sini mengonstruksi sedikit perubahan di kedudukan hukum yang kami meyakini bahwa kami menegaskan pemohon sebagai pelaku usaha hadir sebagai perseorangan warga negara,” ujar Fahrur di Ruang Sidang MK, Jakarta pada Selasa (18/11/2025).
Para Pemohon menguji ketentuan mengenai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara kepada BUMN dan badan usaha swasta dengan cara prioritas.
Penyejajaran kedudukan BUMN dan badan usaha swasta pada pasal a quo ini pada praktiknya memungkinkan badan usaha swasta tertentu untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa melalui mekanisme lelang yang terbuka, kompetitif, dan transparan sebagaimana yang seharusnya berlaku bagi seluruh pelaku usaha swasta.
Dengan kata lain, ketentuan pada pasal a quo telah menciptakan mekanisme pemberian IUP secara prioritas yang menyimpang dari prinsip persaingan usaha yang sehat dan equal opportunity bagi seluruh pelaku usaha swasta.
Para Pemohon menjelaskan mekanisme pemberian IUP secara prioritas kepada badan usaha swasta yang disetarakan dengan BUMN sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji tersebut, pada hakikatnya membuka ruang yang sangat lebar bagi terjadinya praktik-praktik yang tidak adil.
Hal ini disebabkan karena pemberian IUP secara prioritas tanpa lelang kepada badan usaha swasta sangat rentan terhadap unsur subjektivitas, diskresi yang berlebihan, dan intervensi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Dalam konteks ini, tidak ada mekanisme kontrol yang memadai untuk memastikan bahwa badan usaha swasta yang memperoleh IUP secara prioritas tersebut benar-benar dipilih berdasarkan kriteria yang objektif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebaliknya, mekanisme prioritas tanpa lelang justru membuka peluang bagi badan usaha swasta yang memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah baik kedekatan politik, ekonomi, maupun personal untuk memperoleh privilege atau hak istimewa dalam mendapatkan IUP.
Akibatnya, pemberian IUP secara prioritas bukan lagi didasarkan pada merit system atau prinsip kelayakan yang objektif, melainkan didasarkan pada faktor-faktor di luar kapasitas dan kapabilitas teknis dari badan usaha yang bersangkutan.
Karena itu, dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “dan Badan Usaha swasta” pada Pasal 51B Ayat (1) dan Pasal 60B Ayat (1) UU Minerba bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat. Selain itu juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “dan/atau global” pada Pasal 51B Ayat (2) huruf d dan 60B Ayat (2) huruf d UU Minerba bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F

Komentar
Posting Komentar