Mungkinkah Keadilan Dapat Ditegakan, PEMKAB PANDEGLANG LAKUKAN PEMBIARAN PT.BBJ 17 THN NUNGGAK PAJAK
u
Pandeglang, Mediakota Online.com
Terkait dua
pulau yang ada diwilayah Kabupaten Pandeglang diakui Tb.Wawan Chaeri Wardhana
sebagai milik orang tuanya Dirud PT.Bahtera Banten Jaya (PT.BBJ) yaitu, pulau
Popole dengan luas 45 Ha dengan NJOP sebesar Rp.45 Milyar terletak di Cigondang
pantai Laba Kecamatan Labuan dan pulau Liwungan dengan luas 25 Ha dengan NJOP
sebesar Rp.25 Milyar terletak di Citeureup Kecamatan Panimbang, ternyata hal
tersebut tidak benar adanya karena kedua pulau tersebut sesungguhnya adalah
milik Negara/Pemkab Pandeglang Banten status proses sertipikat yang
disewa/kontrak oleh orang tuanya selama 25 tahun yaitu dari tahun 1990 s/d
tahun 2015 dan kemudian dirubah menjadi dari tahun 1994 s/d tahun 2019.
Demikian John Bayanta Ketua Front Rakyat Banten Selatan Bersatu (FRBSB).
Kemudian pada
Pasal-7 diantaranya juga menjelaskan bahwa, pihak Kesatu (Pemkab Pandeglang) dapat
membatalkan perjanjian ini secara sepihak dan mencabut surat izin yang bersangkutan tanpa syarat, tapi ini
juga tidak dilakukan membuktikan bahwa pemegang kebijakan dan kekuasaan yang
ada di Pemkab Pandeglang, ternyata tidak patuh pada Peraturan
Perundang-Undangan yang ada.
Padahal ketentuan
yang telah disepakati tersebut, juga diperkuat dengan adanya Peraturan
Perundang-Undangan di Bidang Kelautan dan Perikanan tahun 2009 Pasal-20 poin
3b. Diterlantarkan merupakan
tindakan yang dilakukan oleh pemegang
HP3 dengan tidak berbuat sesuatu terhadap perairan pesisir selama tiga tahun berturut-turut, dan poin 3c. Dicabut untuk kepentingan umum.
Sedangkan
dampak dari perbuatan seperti apa yang telah dilakukan oleh pihak Pemkab
Pandeglang dimaksud, pihak Pemkab Pandeglang bisa dikatakan pertama tidak patuh
pada Peraturan Perundang-Undangan, kedua pihak Pemkab Pandeglang yaitu pemegang
kebijakan dan kekuasaannya bisa dijerat sesuai seperti apa yang telah diatur
dalam Pasal-3 UU-RI No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP poin-2. Dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi. Tegas John Bayanta yang juga memegang jabatan sebagai Ketua
DPP Lembaga Gerakan Anti Korupsi (LGAK) Bidang Investigasi Data Koruptor yang
berkantor dikawasan MH.Thamrin Jakarta Pusat.
Untuk itu John
Bayanta pada tgl.11 Maret 2014 sempat melayangkan surat ditujukan kepada pihak
KPK, agar mau turun tangan mengusut permasalahannya, karena disamping adanya
permasalahan seperti apa yang diungkap diatas, kiranya pihak PT.BBJ juga telah
menelantarkan kedua pulau tersebut serta tidak menepati janjinya, seperti akan
membangun jalan masuk diurug setinggi 1 meter dari tanah darat penghubung
pantai Laba kepulau Popole sepanjang 1,8 Km dan dilengkapi komponen jembatan
sepanjang 100 Meter, lebar urugkan jalan dan jembatan lebih kurang 15 meter, tapi
hal tersebut tidak dilakukannya begitu pula dengan pembangunan lainnya sesuai
isi dari surat perjanjian dimaksud.Permintaan
John Bayanta tersebut juga ditujukan kepada pihak BPK-RI agar mau melakukan audit
terkait tentang uang sewa/kontrak kedua pulau tersebut yaitu sebesar Rp.200
Juta, dimana dalam perjanjian yang telah dibuat pertama pada tgl.27 Agustus 1990
antar Alm.Tb.H.Chasan Sochib dengan Bupati Pandeglang Drs.H.Suyaman, dengan
tenggang waktu sejak tahun 1990 s/d tahun 2015 atau selama 25 tahun. Sedangkan
pembayaran uang sewa/kontrak akan dilakukan pertama sebesar Rp.75 Juta setelah
ditanda tanganinya Surat Perjanjian ini, kedua sebesar Rp.75 Juta dilakukan
pada tahun 1998 dan ketiga sebesar Rp.50 Juta dilakukan pada tahun 2006.
Tapi setelah terjadi
pergantian jabatan Bupati Pandeglang dari Drs.H.Suyaman ke H.Moch.Zain yaitu
pada tahun 1990 atau diakhir masa jabatan Drs.H.Suyaman, Surat Perjanjian
tersebut pun dirubah dilakukan pada tgl.17 Nopember 1994 antar Alm.Tb.H.Chasan
Choib dengan Bupati Pandeglang H.Moch.Zein yang uang sewa/kontraknya, anehnya nilainya
tetap sama yaitu sebesar Rp.200 Juta, dengan tenggang waktunya ikut dirubah
yaitu sejak tahun 1994 s/d tahun 2019 atau selama 25 tahun.
Lalu bagaimana dengan pembayaran uang sewa/kontrak pertama sebesar
Rp.75 Juta dilakukan setelah ditanda tanganinya surat perjanjian yaitu pada
tgl.27 Agustus 1990, juga bagaimana dengan pembayaran pajak PBB dimasa tenggang
waktu dari tgl.27 Agustus 1990 s/d tgl.17 Nopember 1994 atau dibuatnya
perjanjian baru oleh Bupati Pandeglang H.Zein. Sementara bukti telah dibayar
atau belumnya juga datanya hingga kini belum ditemukan.
Sedangkan untuk
pembayaran uang sewa/kontraknya sesuai dibuatnya perjanjian baru juga jadi ikut
dirubah pertama sebesar Rp.75 Juta setelah ditanda tanganinya Surat Perjanjian tersebut,
kedua sebesar Rp.75 Juta dilakukan pada tgl.17 Nopember 2002 atau diera jabatan
Bupati Pandeglang dipegang oleh H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH,MSi, dan
ketiga sebesar Rp.50 Juta dilakukan pada tgl.17 Nopember 2010 atau diera jabatan
Bupati Pandeglang dipegang oleh Drs.H.Erwan Kurtubi,MM.
Sedangkan terkait
dengan adanya kasus “PEMBIARAN”
dimaksud, John Bayanta juga meminta kepada pihak Tim Badan Perumus (Banmus) Laporan
Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Bupati Pandeglang akhir tahun 2013, agar
mau mengusut tentang pembayaran cicilan uang sewa/kontrak kedua pulau yaitu
Popole dan Liwungan, karena dikawatirkan itu juga tidak dibayar apalagi bukti
dari pembayaran atau pelunasannya hingga kini belum juga ditemukan, menurut
Kepala DPKPA Drs.Ramadani,MSi kepada John Bayanta beberapa waktu yang lalu
bertempat diruangan kerjanya.
Permintaannya
itu juga ada keterkaitannya dengan visi Kabupaten Pandeglang tahun 2011 s/d
tahun 2016, seperti apa yang telah disampaikan pada LKPJ Bupati Pandeglang TA.2013
tertanggal 26 Maret 2014 diantaranya menyebutkan, Meningkatkan perekonomian daerah berbasis pertanian dan parawisata.
Lalu bagaimana dengan kedua pulau milik Pemkab Pandeglang yang telah
diterlantarkan, bukankah alangkah lebih baiknya jika pihak Pemkab Pandeglang mau
berpegang pada sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang ada dan
berlaku, dengan mengambil langkah melakukan pemutusan sewa/kontrak kepada pihak
pemegang HP3 yaitu PT.BBJ.
Sedangkan maksud
dan tujuan hal tersebut diminta John Bayanta, agar dimasa tenggang waktu dari
tahun 2014 s/d tahun 2019 atau berakhirnya masa sewa/kontrak, dapat
dimamfaatkan oleh pihak Pemkab Pandeglang sesuai visi untuk meningkatkan
perekonomian berbasis pertanian dan parawisata, hingga diharapkan nantinya
dapat mendatangkan masukan buat meningkatkan PAD dan juga perekonomian rakyat warga
masyarakat yang ada disekitar kedua pulau dimaksud.
Disamping itu
bila pihak pemegang kebijakan dan kekuasaan yang ada di Pemkab Pandeglang telah
berani mengambil tindakan melakukan pemutusan sewa/kontrak dimaksud, hal
tersebut jelas bisa juga dijadikan bukti bahwa pihak Pemkab Pandeglang benar telah
melakukan adanya perubahan, khususnya terkait dengan kepatuhan pada Peraturan
Perundang-Undangan, yang menurut pihak BPK-RI hingga Pemkab Pandeglang diberi
penghargaan berupa juara Disclaimer dua tahun berturut-turut yaitu pada TA.2009 dan TA.2010.
Penghargaan
tersebut diberikan oleh pihak BPK-RI, dikarenakan dinilai pihak Pemkab
Pandeglang dalam menjalankan roda pemerintahan ditemukan adanya kelemahan dalam sistem pengendalian Intern dan ketidak patuhan terhadap ketentuan
Perundang-Undangan, dilakukan oleh pihak Pemkab Pandeglang dibawah
kepemimpinan Drs.H.Erwan Kurtubi,MM.
Oleh
karenanya masalah kedua pulau dimaksud, kepada pihak tim Badan Perumus John
Bayanta meminta agar, mau memasukan
masalah kedua pulau dimaksud sebagai bagian dari bahan yang harus dibahas,
terutama pada tunggakan pajak yang dilakukan oleh pihak PT.BBJ pemegang HP3, hal
tersebut dimintanya khususnya demi “TEGAKNYA
KEADILAN” dan umumnya demi adanya tambahan masukan buat meningkatkan
PAD.
John Bayanta
selanjutnya juga mengungkapkan sesungguhnya dirinya telah merasa jenuh untuk
melakukan kritikan membangun, karena kritikan yang dilakukan selalu disalahkan saja
terutama oleh Bupati Pandeglang Drs.H.Erwan Kurtubi,MM dan beberapa pejabat
lainnya pembuat kebijakan dan pemegang kekuasaan yang ada dilingkungan Pemkab
Pandeglang.
Sedangkan
kritikan dimaksud diantaranya seperti terkait dengan dana belanja modal PU
digunakan untuk merehab rumah dinas Kepala Kejaksaaan Negeri Pandeglang, malah
dianggap sebagai kritikan yang dapat merusak hubungan yang dianggap telah
harmonis antar pihak Pemkab Pandeglang dengan pihak Kejari Pandeglang. Padahal
kritikan tersebut disampaikan dimaksudkan, agar pihak Pemkab Pandeglang dan
Kejaksaan Negeri Pandeglang mau menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan
Peraturan Perundang-Undangan yang ada dan diberlakukan di NKRI.
Seperti
diantaranya Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah Bab-VII Pelaksanaan APBD Bagian Pertama Azas Umum Pelaksanaan APBD Pasal
122 poin-9. Setiap SKPD dilarang
melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang
telah ditetapkan dalam APBD. Tapi kenapa keberadaan Permendagri ini
tercermin bagaikan tidak dianggap, celakanya oleh para oknum Kejaksaaan negeri
Pandeglang yang makanan sehari-harinya yaitu hukum dan oknum pemegang kebijakan
dan kekuasaan yang ada di Pemkab Pandeglang.
Lalu
bagaimana dengan warga masyarakat lainnya atau katakanlah sebagai Wong Cilik,
jika kedapatan menabrak Peraturan Perundang-Undangan mungkinkah mereka tidak
akan dijerat dengan sanksi hukum? Oleh karenannya jika Negara ini ingin benar
dan kondusif, alangkah lebih baiknya jika dimulai dari para penegak hukum itu
sendiri mau menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan hukum itu, karena dibuat
dan diberlakukan hukum diperuntukan bagi setiap warga Negara yang ada di NKRI,
bukan hanya diberlakukan untuk Wong Cilik yang tidak punya banyak uang dan
kekuasaan, sementara bagi yang punya banyak uang dan kekuasaan/penegak hukum,
hukum bagaikan tidak dapat menyentuhnya.
Berdasarkan
seperti apa yang telah diungkap diatas dan sebagai akhir kata John Bayanta
meminta khususnya kepada para penegak hokum, agar dalam melaksanakan tugas sebagai
penegak hukum, alangkah lebih baiknya jika itu dilakukan diiringi dengan adanya
“keadilan yang merata”, hingga
keberadaan hukum dan peradilan dapat dijadikan panglima yaitu dihormati dan
dijunjung tinggi oleh semua kalangan termasuk penegak hukum itu sendiri. Disamping
itu agar kedepan keberadaan hukum dan peradilan, tidak lagi tercermin bagaikan
dijadikan tempat ajang bisnis perkara oleh sementara oknum penegak hukum
terutama para pemegang pedang keadilan yang miskin akhlak. (TIM/Jhon B).
Komentar
Posting Komentar