Mungkinkah Keadilan Dapat Ditegakan, PEMKAB PANDEGLANG LAKUKAN PEMBIARAN PT.BBJ 17 THN NUNGGAK PAJAK

u
Pandeglang, Mediakota Online.com
Terkait dua pulau yang ada diwilayah Kabupaten Pandeglang diakui Tb.Wawan Chaeri Wardhana sebagai milik orang tuanya Dirud PT.Bahtera Banten Jaya (PT.BBJ) yaitu, pulau Popole dengan luas 45 Ha dengan NJOP sebesar Rp.45 Milyar terletak di Cigondang pantai Laba Kecamatan Labuan dan pulau Liwungan dengan luas 25 Ha dengan NJOP sebesar Rp.25 Milyar terletak di Citeureup Kecamatan Panimbang, ternyata hal tersebut tidak benar adanya karena kedua pulau tersebut sesungguhnya adalah milik Negara/Pemkab Pandeglang Banten status proses sertipikat yang disewa/kontrak oleh orang tuanya selama 25 tahun yaitu dari tahun 1990 s/d tahun 2015 dan kemudian dirubah menjadi dari tahun 1994 s/d tahun 2019. Demikian John Bayanta Ketua Front Rakyat Banten Selatan Bersatu (FRBSB).

 Celakanya pihak PT.BBJ selaku pemegang HP3 seperti dalam proses sewa/kontrak tersebut, khusus untuk pulau Popole diketahui telah nunggak pajak PBB menurut UPT PBB BPHTB DPKPA selama 17 tahun terhitung dari tahun 1998 s/d tahun 2014, dan pulau Liwungan selama 10 tahun terhitung dari tahun 2005 s/d tahun 2014, tapi anehnya oleh pihak Pemkab Pandeglang tercermin bagaikan adanya unsur dilakukannya “PEMBIARAN”.
 Pembiaran tersebut dapat disebut bila berpegang pada isi dari surat perjanjian terdahulu maupun perubahan, seperti pada Pasal-6 poin-10 disebutkan, agar setiap tahun harus memberikan laporan tentang semua kewajiban pelunasan pajak. Tapi faktanya kenapa tunggakan pajak PBB tersebut bisa terjadi bahkan hingga seperti untuk pulau Popole selama 17 tahun terhitung dari tahun 1998 s/d tahun 2014, dan pulau Liwungan selama 10 tahun terhitung dari tahun 2005 s/d tahun 2014.

Kemudian pada Pasal-7 diantaranya juga menjelaskan bahwa, pihak Kesatu (Pemkab Pandeglang) dapat membatalkan perjanjian ini secara sepihak dan mencabut surat izin yang bersangkutan tanpa syarat, tapi ini juga tidak dilakukan membuktikan bahwa pemegang kebijakan dan kekuasaan yang ada di Pemkab Pandeglang, ternyata tidak patuh pada Peraturan Perundang-Undangan yang ada.

Padahal ketentuan yang telah disepakati tersebut, juga diperkuat dengan adanya Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Kelautan dan Perikanan tahun 2009 Pasal-20 poin 3b. Diterlantarkan merupakan tindakan  yang dilakukan oleh pemegang HP3 dengan tidak berbuat sesuatu terhadap perairan pesisir selama tiga tahun berturut-turut, dan poin 3c. Dicabut untuk kepentingan umum.

Sedangkan dampak dari perbuatan seperti apa yang telah dilakukan oleh pihak Pemkab Pandeglang dimaksud, pihak Pemkab Pandeglang bisa dikatakan pertama tidak patuh pada Peraturan Perundang-Undangan, kedua pihak Pemkab Pandeglang yaitu pemegang kebijakan dan kekuasaannya bisa dijerat sesuai seperti apa yang telah diatur dalam Pasal-3 UU-RI No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP poin-2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi. Tegas John Bayanta yang juga memegang jabatan sebagai Ketua DPP Lembaga Gerakan Anti Korupsi (LGAK) Bidang Investigasi Data Koruptor yang berkantor dikawasan MH.Thamrin Jakarta Pusat.

Untuk itu John Bayanta pada tgl.11 Maret 2014 sempat melayangkan surat ditujukan kepada pihak KPK, agar mau turun tangan mengusut permasalahannya, karena disamping adanya permasalahan seperti apa yang diungkap diatas, kiranya pihak PT.BBJ juga telah menelantarkan kedua pulau tersebut serta tidak menepati janjinya, seperti akan membangun jalan masuk diurug setinggi 1 meter dari tanah darat penghubung pantai Laba kepulau Popole sepanjang 1,8 Km dan dilengkapi komponen jembatan sepanjang 100 Meter, lebar urugkan jalan dan jembatan lebih kurang 15 meter, tapi hal tersebut tidak dilakukannya begitu pula dengan pembangunan lainnya sesuai isi dari surat perjanjian dimaksud.Permintaan John Bayanta tersebut juga ditujukan kepada pihak BPK-RI agar mau melakukan audit terkait tentang uang sewa/kontrak kedua pulau tersebut yaitu sebesar Rp.200 Juta, dimana dalam perjanjian yang telah dibuat pertama pada tgl.27 Agustus 1990 antar Alm.Tb.H.Chasan Sochib dengan Bupati Pandeglang Drs.H.Suyaman, dengan tenggang waktu sejak tahun 1990 s/d tahun 2015 atau selama 25 tahun. Sedangkan pembayaran uang sewa/kontrak akan dilakukan pertama sebesar Rp.75 Juta setelah ditanda tanganinya Surat Perjanjian ini, kedua sebesar Rp.75 Juta dilakukan pada tahun 1998 dan ketiga sebesar Rp.50 Juta dilakukan pada tahun 2006.

Tapi setelah terjadi pergantian jabatan Bupati Pandeglang dari Drs.H.Suyaman ke H.Moch.Zain yaitu pada tahun 1990 atau diakhir masa jabatan Drs.H.Suyaman, Surat Perjanjian tersebut pun dirubah dilakukan pada tgl.17 Nopember 1994 antar Alm.Tb.H.Chasan Choib dengan Bupati Pandeglang H.Moch.Zein yang uang sewa/kontraknya, anehnya nilainya tetap sama yaitu sebesar Rp.200 Juta, dengan tenggang waktunya ikut dirubah yaitu sejak tahun 1994 s/d tahun 2019 atau selama 25 tahun.

Lalu  bagaimana dengan  pembayaran uang sewa/kontrak pertama sebesar Rp.75 Juta dilakukan setelah ditanda tanganinya surat perjanjian yaitu pada tgl.27 Agustus 1990, juga bagaimana dengan pembayaran pajak PBB dimasa tenggang waktu dari tgl.27 Agustus 1990 s/d tgl.17 Nopember 1994 atau dibuatnya perjanjian baru oleh Bupati Pandeglang H.Zein. Sementara bukti telah dibayar atau belumnya juga datanya hingga kini belum ditemukan.

Sedangkan untuk pembayaran uang sewa/kontraknya sesuai dibuatnya perjanjian baru juga jadi ikut dirubah pertama sebesar Rp.75 Juta setelah ditanda tanganinya Surat Perjanjian tersebut, kedua sebesar Rp.75 Juta dilakukan pada tgl.17 Nopember 2002 atau diera jabatan Bupati Pandeglang dipegang oleh H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH,MSi, dan ketiga sebesar Rp.50 Juta dilakukan pada tgl.17 Nopember 2010 atau diera jabatan Bupati Pandeglang dipegang oleh Drs.H.Erwan Kurtubi,MM.

Sedangkan terkait dengan adanya kasus “PEMBIARAN” dimaksud, John Bayanta juga meminta kepada pihak Tim Badan Perumus (Banmus) Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Bupati Pandeglang akhir tahun 2013, agar mau mengusut tentang pembayaran cicilan uang sewa/kontrak kedua pulau yaitu Popole dan Liwungan, karena dikawatirkan itu juga tidak dibayar apalagi bukti dari pembayaran atau pelunasannya hingga kini belum juga ditemukan, menurut Kepala DPKPA Drs.Ramadani,MSi kepada John Bayanta beberapa waktu yang lalu bertempat diruangan kerjanya.

Permintaannya itu juga ada keterkaitannya dengan visi Kabupaten Pandeglang tahun 2011 s/d tahun 2016, seperti apa yang telah disampaikan pada LKPJ Bupati Pandeglang TA.2013 tertanggal 26 Maret 2014 diantaranya menyebutkan, Meningkatkan perekonomian daerah berbasis pertanian dan parawisata. Lalu bagaimana dengan kedua pulau milik Pemkab Pandeglang yang telah diterlantarkan, bukankah alangkah lebih baiknya jika pihak Pemkab Pandeglang mau berpegang pada sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang ada dan berlaku, dengan mengambil langkah melakukan pemutusan sewa/kontrak kepada pihak pemegang HP3 yaitu PT.BBJ.

Sedangkan maksud dan tujuan hal tersebut diminta John Bayanta, agar dimasa tenggang waktu dari tahun 2014 s/d tahun 2019 atau berakhirnya masa sewa/kontrak, dapat dimamfaatkan oleh pihak Pemkab Pandeglang sesuai visi untuk meningkatkan perekonomian berbasis pertanian dan parawisata, hingga diharapkan nantinya dapat mendatangkan masukan buat meningkatkan PAD dan juga perekonomian rakyat warga masyarakat yang ada disekitar kedua pulau dimaksud.

Disamping itu bila pihak pemegang kebijakan dan kekuasaan yang ada di Pemkab Pandeglang telah berani mengambil tindakan melakukan pemutusan sewa/kontrak dimaksud, hal tersebut jelas bisa juga dijadikan bukti bahwa pihak Pemkab Pandeglang benar telah melakukan adanya perubahan, khususnya terkait dengan kepatuhan pada Peraturan Perundang-Undangan, yang menurut pihak BPK-RI hingga Pemkab Pandeglang diberi penghargaan berupa juara Disclaimer dua tahun berturut-turut yaitu pada TA.2009 dan TA.2010.

Penghargaan tersebut diberikan oleh pihak BPK-RI, dikarenakan dinilai pihak Pemkab Pandeglang dalam menjalankan roda pemerintahan ditemukan adanya kelemahan dalam sistem pengendalian Intern dan ketidak patuhan terhadap ketentuan Perundang-Undangan, dilakukan oleh pihak Pemkab Pandeglang dibawah kepemimpinan Drs.H.Erwan Kurtubi,MM.

Oleh karenanya masalah kedua pulau dimaksud, kepada pihak tim Badan Perumus John Bayanta meminta agar, mau memasukan masalah kedua pulau dimaksud sebagai bagian dari bahan yang harus dibahas, terutama pada tunggakan pajak yang dilakukan oleh pihak PT.BBJ pemegang HP3, hal tersebut dimintanya khususnya demi “TEGAKNYA KEADILAN” dan umumnya demi adanya tambahan masukan buat meningkatkan PAD.

John Bayanta selanjutnya juga mengungkapkan sesungguhnya dirinya telah merasa jenuh untuk melakukan kritikan membangun, karena kritikan yang dilakukan selalu disalahkan saja terutama oleh Bupati Pandeglang Drs.H.Erwan Kurtubi,MM dan beberapa pejabat lainnya pembuat kebijakan dan pemegang kekuasaan yang ada dilingkungan Pemkab Pandeglang.

Sedangkan kritikan dimaksud diantaranya seperti terkait dengan dana belanja modal PU digunakan untuk merehab rumah dinas Kepala Kejaksaaan Negeri Pandeglang, malah dianggap sebagai kritikan yang dapat merusak hubungan yang dianggap telah harmonis antar pihak Pemkab Pandeglang dengan pihak Kejari Pandeglang. Padahal kritikan tersebut disampaikan dimaksudkan, agar pihak Pemkab Pandeglang dan Kejaksaan Negeri Pandeglang mau menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan Peraturan Perundang-Undangan yang ada dan diberlakukan di NKRI.

Seperti diantaranya Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Bab-VII Pelaksanaan APBD Bagian Pertama Azas Umum Pelaksanaan APBD Pasal 122 poin-9. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Tapi kenapa keberadaan Permendagri ini tercermin bagaikan tidak dianggap, celakanya oleh para oknum Kejaksaaan negeri Pandeglang yang makanan sehari-harinya yaitu hukum dan oknum pemegang kebijakan dan kekuasaan yang ada di Pemkab Pandeglang.

Lalu bagaimana dengan warga masyarakat lainnya atau katakanlah sebagai Wong Cilik, jika kedapatan menabrak Peraturan Perundang-Undangan mungkinkah mereka tidak akan dijerat dengan sanksi hukum? Oleh karenannya jika Negara ini ingin benar dan kondusif, alangkah lebih baiknya jika dimulai dari para penegak hukum itu sendiri mau menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan hukum itu, karena dibuat dan diberlakukan hukum diperuntukan bagi setiap warga Negara yang ada di NKRI, bukan hanya diberlakukan untuk Wong Cilik yang tidak punya banyak uang dan kekuasaan, sementara bagi yang punya banyak uang dan kekuasaan/penegak hukum, hukum bagaikan tidak dapat menyentuhnya.

Berdasarkan seperti apa yang telah diungkap diatas dan sebagai akhir kata John Bayanta meminta khususnya kepada para penegak hokum, agar dalam melaksanakan tugas sebagai penegak hukum, alangkah lebih baiknya jika itu dilakukan diiringi dengan adanya “keadilan yang merata”, hingga keberadaan hukum dan peradilan dapat dijadikan panglima yaitu dihormati dan dijunjung tinggi oleh semua kalangan termasuk penegak hukum itu sendiri. Disamping itu agar kedepan keberadaan hukum dan peradilan, tidak lagi tercermin bagaikan dijadikan tempat ajang bisnis perkara oleh sementara oknum penegak hukum terutama para pemegang pedang keadilan yang miskin akhlak. (TIM/Jhon B).

                                                                                         

Komentar

Halaman

Bongkar" Pembangunan Tower Telekomunikasi Di Kecamatan Jiput Diduga Ijin Sepihak', Pengerjaan nya Tidak Sesuai SOP

Bareskrim Sita Miliaran Uang Hingga Aset Dari Kasus Net89

Kepada Presiden Prabowo: Kedaulatan Negara Makin Terancam, Kesenjangan dan Ketidakadilan Makin Menganga

Kades Gofur SH" Minta Masyarakat Kawal Program Hasil Musrenbang Desa Ganggaeng kecamatan Picung

Nota Kesepahaman Diteken, Badan Hukum BUMDes Bakal Dipercepat