Krisis Kepemimpinan Terjadi & Korupsi Merajalela Khususnya Terkait Pilkada
Banten Mediakota Online.com
Memang ini merupakan dilema bagi bangsa yang sedang
berkembang seperti Indonesia, karena para penerus bangsanya yang kebetulan
dipercaya untuk memimpin bangsa sejak berdirinya pemerintahan Reformasi pada
umumnya menerimanya dengan kebablasan, seperti dengan hanya dibekali keegoan dan
sedikit kemampuan, mereka sudah berani memaksakan diri untuk tampil sebagai
seorang calon pemimpin. Seperti dengan mendirikan berbagai macam partai politik,
organisasi politik maupun profesi, lembaga dan juga media massa dimaksudkan agar
bisa dijadikan sebagai wadah yang dapat mengantar mereka ketampuk pimpinan.
Walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa, didirinya masih terdapat
banyaknya kekurangan untuk tampil sebagai seorang pemimpin, sehingga posisi atau
kedudukan sebagai seorang pemimpin akhirnya tercermin hanya dijadikan sebagai “wadah
tempat pembelajaran”, maka tidaklah mengherankan jika setelah mereka tampil
sebagai seorang pemimpin, program demi program pun dilahirkan karena adanya “unsur
pembelajaran”, hingga bangsa kita dikenal didunia sebagai bangsa yang ahli
dalam membuat program.
Tanpa mau peduli bahwa program yang dilahirkan itu nantinya
akan saling bertabrakan satu dengan yang lainnya, karena saking banyaknya
program. Contoh program Pengentasan Kemiskinan yang difokuskan pada tiga bidang
yaitu 1.Kemiskinan dengan Raskin-nya, 2.Pendidikan dengan BOS-nya 3.Kesehatan
dengan Kartu Gakin-nya, ditabrakan dengan kebijakan menaikan harga BBM dan TDL,
sehingga program dimaksud jadi bagaikan sebuah batu yang dicemplungkan kesebuah
kolam yang berisi penuh dengan air, membuat keberadaan program jadi bagaikan
tidak memiliki arti karena tidak dapat membuat terjadinya perubahan dalam
pengentasan kemiskinan.
Karena harga kebutuhan bahan pokok masyarakat jadi melonjak,
begitu pula dengan biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung masyarakat dalam
menjalankan roda kehidupannya, disamping pada diluncurkannya program
Pengentasan Kemiskinan dimaksud, juga tidak luput dari diselewengkan oleh
sementara oknum yang dipercaya untuk menyalurkan kepedulian pemerintah yang
begitu mulia kepada rakyat sebagai warga masyarakatnya. Begitu pula yang
terjadi pada penyaluran PKH dan bantuan-bantuan lainnya yang digulirkan untuk
meringankan beban kehidupan rakyat.
Kemudian bagaimana dengan program Pemberantasan Korupsi yang
telah dijadikan sebagai agenda utama sejak berdiri pemerintahan Reformasi untuk
dilaksanakan, bahkan pada tgl.9 Desember pada disetiap tahunnya telah
ditetapkan sebagai hari Pemberantasan Korupsi se-Dunia, ditabrakan dengan
diadakannya Pemilukada tidak langsung maupun langsung, dimana Pemilukada tidak
langsung dengan Pekan Raya Dagang Suaranya yang digelar oleh pihak DPRD dan Pemilukada
langsung dengan Dagang Sewa Perahu Bermerek Partai Politik atau bagi calon Kepala
Daerah dari independen diharuskan mengumpulkan sekian puluh ribu foto copy KTP
Pemilih. Belum lagi politik uang sebagai senjata pemungkas untuk mengumpulkan banyaknya
peroleh suara.
Sedangkan terkait dengan kenapa politik uang dikatakan
sebagai senjata pemungkas dalam setiap diadakannya pemilihan untuk memperoleh
seorang calon pemimpin. Masalahnya dikarenakan kemiskinan tercermin bagaikan ada
unsur sengaja dibiarkan terus membelenggu kehidupan sebagai besar rakyat oleh
sementara oknum, ditambah kebohongan telah berulangkali terjadi dilakukan oleh
sementara oknum pemimpin terdahulu, membuat timbul rasa apatisme rakyat yang
memilik hak pilih dimana sebagian besarnya jadi pada akhirnya membuat sikap,
mereka siap akan memilih seorang pemimpin tanpa mau peduli siapa orang atau
pasangan calon Kepala Daerah yang akan dipilih, karena bagi mereka yang penting
ada “SESAJEN” ada PILIHAN.
Maka berdasarkan hal seperti apa yang telah diungkapkan diatas
tersebut, mungkinkah setelah mereka para pasangan calon Kepala Daerah dimaksud
terpilih sebagai pemenangnya dan tampil sebagai pemegang kebijakan dan
kekuasaannya, dalam menjalankan roda pemerintahannya sebagai Kepala Daerah
mereka tidak akan berusaha untuk “mengembalikan modal” (COST) yang telah mereka
keluarkan untuk mendapatkan kedudukan sebagai Kepala Daerah.
Jika itu terjadi dan dilakukan, lalu bagaimana dengan dana
APBD yang ada, mungkinkah sebagian dananya pada disetiap tahun anggarannya tidak
akan mereka selewengkan atau dikorupsi??? Seperti apa yang terjadi ditempat
dimana penulis berdominisili yaitu Kabupaten Pandeglang Banten, dimana menurut
pihak BPK-RI yang dituangkan pada hasil audit atas LKPD TA.2006
No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007 dijelaskan, telah terjadi penyimpangan
pada dana APBD Kabupaten Pandeglang TA.2003 s/d TA.2006 sebesar
Rp.117.775.153.128,07.
Lalu bagaimana dengan program pemberantasan korupsi dan
keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta UU-RI No.30 tahun 2002 yang
dibentuk berdasarkan UU-RI No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diubah dengan UU-RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan
atas UU-RI No.31 tahun tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Kemudian hari diperingatinya pemberantasan korupsi juga telah ditetapkan
yaitu pada tgl.9 Desember pada disetiap tahunnya.
Mungkinkah bisa membuahkan hasil seperti apa yang
diharapkan, apalagi dikatakan tindak pidana korupsi harus diberantas hingga
keakar-akarnya seperti apa yang telah ditetapkan sebagai agenda utama
berdirinya pemerintahan Reformasi. Jika keberadaan system pemilihan Kepala
Daerah telah ditetapkan harus dilaksanakan melalui Pemilukada, dimana bagi
calon Kepala Daerah sebelumnya diharuskan untuk mau mengikuti digelarnya Pekan
Raya Dagang Suara oleh pihak DPRD setempat (Pemilukada tidak langsung), kemudian
diubah menjadi Pemilukada langsung dengan Dagang Sewa Perahu Bermerek Partai Politik,
serta bagi calon Kepala Daerah yang dari Independen diharuskan mengumpulkan puluhan
ribu foto copy KTP pemilih.
Belum lagi “politik uang” yang sudah sempat membudaya sejak
diadakannya system pemilihan tidak langsung, hingga membuat bagi calon Kepala
Daerah yang terpilih, walaupun biaya untuk penyelenggaraannya ditanggung oleh
dana dari APBD pemerintah setempat yang jumlahnya hingga puluhan milyar seperti
pada Pemilukada tahun 2015 yang akan diselenggarakan pada tgl.9 Desember 2015,
tapi bagaimana dengan biaya lain-lainnya yang tetap saja harus ditanggung oleh
para calon pasangan Kepala Daerah sehingga mungkinkah setelah mereka terpilih
nanti, mereka tidak akan berusaha untuk mengembalikan modal atau biaya yang
telah mereka keluarkan (COST). Oleh karenannya maka tidaklah mengherankan jika
kemudian terdengar adanya dana APBD atau dana bantuan yang digulirkan kedaerah
dimaksud dikabarkan ada yang diselewengkan atau dikorupsi.
Korupsi Pun Jadi Semakin Merajalela
Sebagai dampaknya maka tindak pidana korupsi pun akhirnya
bisa jadi semakin merajalela bahkan virusnya juga telah menyebar hingga merasuki
kealam pedesaan, membuat banyak kalangan jadi ikut-ikutan berkorupsi dengan
dalih hanya kecil-kecilan atau hanya sekedar agar dapur mereka bisa tetap
ngebul. Ini dapat terjadi dampak lemahnya dalam penegakan hukum dilakukan oleh
para pihak yang berwenang dalam penegakan hukum, karena virus korupsinya
ternyata juga telah merasuki kelembaga penegak hukum dimaksud.
Membuat keberadaan hukum dan peradilan juga jadi tercermin
bagaikan telah dijadikan “tempat ajang bisnis perkara” oleh sementara oknum
petugas penegak hukum yang miskin akhlak, hingga jadi lupa diri akan tugas dan
tanggung jawabnya selaku petugas penegak hukum, karena oknum dimaksud telah
terlena oleh nikmatnya berkolusi dengan para koruptornya. Maka pemberantasan
korupsi pun jadi semakin sulit untuk dilaksanakan, apalagi
hingga mencapai seperti apa yang diharapkan atau yang telah ditetapkan sebagai
agenda utama untuk diberantas oleh sejak berdirinya pemerintahan Reformasi yaitu
sampai keakar-akarnya.
Lalu bagaimana dengan hari Pemberantasan Korupsi se-Dunia
yang diperingati pada tgl.9 Desember pada disetiap tahunnya, apakah acara dimaksud
dilaksanakan jadi hanya bagaikan acara serimonial saja. Karena pada faktanya
tindak pidana korupsi bukannya jadi berkurang, tapi malah jadi semakin
merajalela hingga keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga jadi
bagaikan diobok-obok oleh sementara kalangan yang telah merasakan betapa
nikmatnya melakukan tindak pidana korupsi atau berkolusi dengan para koruptor.
Untuk itu penulis menyarankan bukankah sebaiknya Pemilukada
ditiadakan, dimana untuk jabatan Kepala Daerah dikembalikan lagi kepada system
yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru yaitu ditunjuk langsung oleh
Mendagri, dimaksudkan agar yang namanya mengembalikan modal (COST) tidak akan
terjadi dilakukan oleh Kepala Daerah yang terpilih pada dilaksanakannya
Pemilukada dimaksud. Disamping pengkotak-kotakan yang membuat rasa persatuan
dan kesatuan dikalangan masyarakat dan para tokohnya, serta PNS dan para
pejabatnya yang ada didaerah juga dapat dihindari jika Pemilukada dimaksud
ditiadakan.
Karena dampaknya juga telah membuat Kesetiakawanan Sosial
yang telah terbentuk dengan semangat gotong royongnya bisa jadi memudar, contoh
untuk hari diperingatinya kini juga tidak lagi pernah terdengar dilaksanakan,
terakhir disekitar tahun 2006 dimana acara diperingatinya pada waktu itu dipusatkan
di Kabupaten Pandeglang Banten dengan dihadiri oleh dua orang Menteri yaitu Menteri
Kesejahteraan Rakyat Abu Rizal Bakri dan Menteri Sosial Zarkasi Nur, dimana dilaksanakan
hari Kesetiakawanan Sosial dimaksudkan sebagai wadah untuk mengentalkan rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, dan sekaligus dapat pula sebagai “pencegah” terjadinya
jurang pemisah antar simiskin dengan sikaya bisa jadi semakin melebar.
Bahkan oleh kedua orang menteri tersebut pada dilaksanakannya
acara bertempat dialun-alun Kabupaten Pandeglang, menyempatkan menyerahkan dana
bantuan sebesar Rp.1 Milyar kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang, dimaksudkan
guna membantu direhabnya badan jalan penghubung antar Kecamatan Pagelaran
dengan Patia, karena dikanan kiri badan jalan tersebut terdapat bentangan areal
sawah tadah hujan ratusan hektar luasnya (lumbung padi) yang nantinya bisa
diharapkan untuk mengatasi bila terjadi adanya krisis pangan, oleh karenannya
badan jalan yang ada didaerah tersebut dianggap perlu untuk direhab apalagi
kondisinya memang telah rusak parah.
Tapi sayangnya oleh pemegang kebijakan dan kekuasaannya yang
ada di Kabupaten Pandeglang, dana dimaksud penggunaannya malah diselewengkan
untuk keperluan membantu pembangunan rumah orang jompo yang ketua
pelaksanaannya dijabat oleh Hj.Irna Narulita,SE,MM istri Bupati Pandeglang yang
nilainya dikabarkan hanya disekitar puluhan juta saja.
Sedangkan sisanya menurut penjelasan yang disampaikan oleh Kabag
Sosial Kabupaten Pandeglang yang pada waktu itu dijabat oleh Drs.H.Bay Sumarta yang
kini telah pensiun kepada penulis yaitu, dialihkan untuk keperluan di Dinas
Pendidikan dan PU Kabupaten seperti untuk merehab beberapa bangunan gedung
sekolah SDN yang kondisinya dianggap telah rusak parah, juga sebagian badan
jalan yang kondisinya juga telah rusak parah tanpa menyebutkan nama SDN dan
badan jalan yang direhab dimaksud.
Tindak penyelewengan tersebut dilakukan dimaksudkan untuk
menutupi sebagian janji-janji politik pemegang kebijakan dan kekuasaannya
disaat menghadapi dilaksanakannya Pemilukada tidak langsung dengan Pekan Raya
Dagang Suaranya yang digelar oleh pihak DPRD setempat pada tahun 2000, dimana .H.Achmad
Dimyati Natakusumah,SH,MH tampil sebagai pemenangnya.
Dilanjutkan dengan Pemilukada langsung dengan Dagang Sewa
Perahu Bermerek Partai Politik yaitu PDI Perjuangan dan PPP pada tahun 2005,
dimana H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH kembali tampil sebagai pemenangnya
hingga jabatan sebagai Kepala Daerah dipegangnya jadi selama dua priode yaitu
tahun 2000 s/d 2005 dan tahun 2005 s/d tgl.1 Juli 2009 sesuai surat pengunduran
diri H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH,MSi sebagai Bupati Pandeglang,
dikarenakan akan dilantik sebagai anggota DPR-RI priode tahun 2009 s/d 2014.
Pinjaman Daerah Rp.200 Milyar Diselewengkan
Ternyata bukan hanya dana bantuan dari kedua orang Menteri
yang diselewengkan dalam penggunaannya dan dana dari APBD Kabupaten Pandeglang,
tapi juga pada dilakukannya pinjaman daerah Pemkab Pandeglang sebesar Rp.200
Milyar dari Bank Jabar-Banten Cabang Kabupaten Pandeglang Banten dilakukan pada
tahun 2006, dimana pinjaman tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan dikatakan
untuk percepatan pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan Kabupaten
Pandeglang dalam pembangunan khususnya dibidang inprastruktur.
Oleh karenannya pada usulan penggunaan dari dilakukannya
pinjaman daerah dimaksud seperti yang tertera pada surat ususlan yang
disampaikan ke Mendagri Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) untuk
pembangunan dan penataan air panas/Cisolong SPA, pengadaan alat berat pendukung
AMP, penataan pasar dan sub terminal Anten, dikatakan masuk dalam kategori kegiatan
yang menghasilkan penerimaan dan juga berfungsi sebagai fasilitas pelayanan
umum, sehingga harus dapat menghasilkan penerimaan dan memberikan kontribusi
dalam pendapatan daerah untuk pembayaran kembali pinjaman daerah.
Sedangkan usulan penggunaannya juga didukung oleh surat dari
Bupati Pandeglang H.A.Dimyati Natakusumah,SH,MH dengan No.903/142-BPKD/2006 tertanggal
2 Pebuari 2006 ditujukan kepada Mendagri Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan
Daerah (BAKD) yang pada waktu itu dijabat oleh Daeng M.Nasir. Dimana isi dari
surat tersebut ditemukan adanya kebohongan pada data-data seperti, dikatakan kami
sampaikan permohonan pertimbangan dengan dokumen-dokumen poin-2. APBD Tahun
Anggaran 2006 dan poin-5. Surat Persetujuan DPRD. Karena APBD TA.2006 baru
disahkan pada tgl.2 Maret 2006 dan Surat Persetujuan DPRD baru dibuat pada tgl.22
Agustus 2006, sehingga bagaimana mungkin pada tgl.2 Pebuari 2006 dokumennya
dikatakan bagaikan telah ada dan jika benar itu ada, berarti dokumen dimaksud
palsu.
Kemudian Pemkab Pandeglang dikatakan berdasarkan surat dari
Bupati Pandeglang H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH dengan surat
No.900/836-UM/2006 tanggal 7 Juli 2006, isinya diantaranya dikatakan tidak
mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah
sehingga oleh pihak Mendagri Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD)
melalui suratnya dengan No.588/989/BAKD tgl.25 September 2006 menyetujui
dilakukannya pinjaman daerah Pemkab Pandeglang sebesar Rp.200 Milyar. Padahal
menurut hasil audit dari pihak BPK-RI atas LKPD TA.2006
No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007, Pemkab Pandeglang mempunyai saldo
utang kepada pemerintah Pusat yang tercantum dalam neraca awal per-31 Desember
2005 senilai Rp.550 Juta.
Disamping itu setelah surat balasan diterima oleh pihak
Pemkab Pandeglang dari Mendagri Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah
(BAKD) tersebut, pada penggunaannya malah diubah jadi untuk pembangunan jalan
melalui Dinas PU sebesar Rp.153 Milyar dan gedung SDN melalui Dinas Pendidikan
sebesar Rp.47 Milyar. Dimana pada pencairannya ditemukan adanya dana yang
diselewengkan hingga mencapai puluhan milyar dan juga pada penggunaannya.
Belum lagi pada kasus
suap kepada 45 orang anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, dalam rangka
persetujuan pinjaman Pemkab Pandeglang sebesar Rp.200 Milyar ke Bank
Jabar-Banten Cabang Kabupaten Pandeglang Banten sebesar Rp.1,5 Milyar yang
walaupun untuk kasus suapnya telah
dianggap selesai sesuai surat dari Mahkamah Agung-RI
No.196/Pan.Pid.Sus/4 K/PID.SUS/2010 tgl.27 Januari 2011 atas nama H.A.Wadudi
Nurhasan,S.Sos dimana dijelaskan juga bahwa, berkas perkaranya dikembalikan
kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk digunakan dalam perkara lain.
Tapi sayangnya perkara lain dimaksud pada kenyataannya
tercermin bagaimana ingin disirnakan seiring berlalunya waktu oleh pihak yang
dipercaya untuk menangani kasus tersebut, diantaranya kasus penyimpangan pada
dana yang digunakan untuk menyuap 45 orang anggoa DPRD Kabupaten Pandeglang
yang diambil dari dana belanja penyertaan modal sebesar Rp.12,5 Milyar, berdasarkan
kebijakan dari Bupati Pandeglang H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH yang
menurut pihak BPK-RI atas LKPD TA.2006 No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8
Juni 2007 menjelaskan bahwa, tindakan tersebut menyimpang dari Permendagri
No.13 tahun 2006 Pasal 122 ayat 9 yang menyatakan bahwa, setiap SKPD dilarang
melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang
telah ditetapkan dalam APBD.
Sedangkan dana belanja penyertaan modal tersebut diambil
dari rekening Kasda DAU, dengan rincian untuk penyertaan modal kepada Koperasi
KPM untuk simpan pinjam Koperasi sebesar Rp.500 Juta dan ditempatkan dalam
deposito di Bank BRI sebesar Rp.2 Milyar dan pada tgl.28 Desember 2006
dikembalikan lagi ke Kasda sebesar Rp.2 Milyar. Sisanya digunakan untuk
penyertaan modal kepada Bank Jabar-Banten sebesar Rp.10 Milyar dan pada tgl.29
Desember 2006 dikembalikan lagi ke Kasda sebesar Rp.10.275.064.643,- melalui
surat No.973/474-BPKD/XII/2006.
Oleh pihak BPK-RI yang dituangkan pada LHP BPK-RI atas LKPD
TA.2006 No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007 juga dijelaskan bahwa,
terkait pada untuk penggunaan dana penyertaan modalnya yang ada di Kasda DAU
dan Kasda BRI, hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai akses di
BRI.
Pemerintahan Yang Bersih Berwibawa dan Bebas Dari Korupsi
Lalu bagaimana dengan harapan dari Presiden-RI Bapak
Ir.H.Joko Widodo yaitu, ingin menciptakan adanya suatu pemerintahan yang bersih
berwibawa dan bebas dari korupsi dapat terwujud, jika system Pemilukada yang
dapat mengundang terjadinya tindak penyelewengan atau korupsi dibiarkan terus
diberlakukan, seperti dengan adanya keharusan untuk mengembalikan modal (COST),
apalagi bagi calon Kepala Daerah yang modalnya diperoleh dari hasil ngutang
atau kontrak politik.
Belum lagi politik uang dikarenakan adanya sikap apatisme
rakyat selaku yang mempunyai hak pilih dikarena factor belenggu kemiskinan dan
kesengsaraan yang berkepanjangan terus melingkari dikehidupannya, ditambah
mereka selalu mengalami dicekoki dengan
kebohongan- kebohongan dilakukan oleh para Kepala Daerah terdahulu, maka
rakyat akhirnya bersikap “ada sesajen ada pilihan”. Jika sudah demikian adanya,
lalu bagaimana dengan kedudukan sebagai Kepala Daerah-nya, bisa-bisa hanya
diduduki oleh orang-orang yang mempunyai banyak uang dan memiliki kekuasaan,
sementara bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang dan punya kekuasaan
walaupun memiliki kemampuan untuk tampil sebagai seorang pemimpin, maka mereka
tidak akan memiliki kesempatan untuk tampil sebagai seorang pemimpin karena
sikon tidak berpihak kepadanya.
Oleh karena Pemilukada masih diberlakukan seperti apa yang
akan dilaksanakan pada tgl.9 Desember 2015, maka penulis hanya bisa
menyampaikan himbauan kepada yang mempunyai hak pemilih agar berhati-hatilah
dalam menentukan pilihannya, jangan hanya dikarenakan “sekeping uang dan
sekantung makanan serta minuman”, lalu pilihan dijatuhkan kepada calon pemimpin
yang memberikannya. Padahal itu sifatnya hanya sesaat penghilang lapar dan
dahaga. Sedangkan dampaknya dari bila salah dalam memilih kesengsaraan yang
akan didapat jadi akan semakin berkepanjang yaitu selama lima tahun kedepan. =
Wassalam dari penulis, Ketua FRBSB dan juga sebagai Ketua
DPP Lembaga Gerakan Anti Korupsi (LGAK) bidang Investigasi Data Koruptor yang
berkantor dikawasan MH.Thamrin Jakarta Pusat.(Jhon Bayanta)
Komentar
Posting Komentar