Krisis Kepemimpinan Terjadi & Korupsi Merajalela DAMPAK SISTEM YANG DIBERLAKUKAN SALAH KHUSUSNYA TERKAIT PILKADA
Oleh ; John Bayanta.
Memang ini
merupakan dilema bagi bangsa yang sedang berkembang seperti Indonesia, karena
para penerus bangsanya yang kebetulan dipercaya untuk memimpin bangsa sejak
berdirinya pemerintahan Reformasi pada umumnya menerimanya dengan kebablasan, seperti dengan hanya dibekali
keegoan dan sedikit kemampuan, mereka sudah berani memaksakan diri untuk tampil
sebagai seorang calon pemimpin. Seperti dengan mendirikan berbagai macam partai
politik, organisasi politik maupun profesi, lembaga dan juga media massa dimaksudkan
agar bisa dijadikan sebagai wadah yang dapat mengantar mereka ketampuk
pimpinan.
Walaupun
sesungguhnya mereka tahu bahwa, didirinya masih terdapat banyaknya kekurangan
untuk tampil sebagai seorang pemimpin, sehingga posisi atau kedudukan sebagai seorang
pemimpin akhirnya tercermin hanya dijadikan sebagai “wadah tempat pembelajaran”, maka tidaklah mengherankan jika setelah
mereka tampil sebagai seorang pemimpin, program demi program pun dilahirkan karena
adanya “unsur pembelajaran”, hingga bangsa
kita dikenal didunia sebagai bangsa yang ahli dalam membuat program.
Tanpa mau
peduli bahwa program yang dilahirkan itu nantinya akan saling bertabrakan satu
dengan yang lainnya, karena saking banyaknya program. Contoh program Pengentasan Kemiskinan yang
difokuskan pada tiga bidang yaitu 1.Kemiskinan dengan Raskin-nya, 2.Pendidikan
dengan BOS-nya 3.Kesehatan dengan Kartu Gakin-nya, ditabrakan dengan kebijakan menaikan harga BBM dan TDL,
sehingga program dimaksud jadi bagaikan sebuah batu yang dicemplungkan kesebuah
kolam yang berisi penuh dengan air, membuat keberadaan program jadi bagaikan
tidak memiliki arti karena tidak dapat membuat terjadinya perubahan dalam
pengentasan kemiskinan.
Karena harga
kebutuhan bahan pokok masyarakat jadi melonjak, begitu pula dengan biaya-biaya
lainnya yang harus ditanggung masyarakat dalam menjalankan roda kehidupannya, disamping
pada diluncurkannya program Pengentasan Kemiskinan dimaksud, juga tidak luput
dari diselewengkan oleh sementara oknum yang dipercaya untuk menyalurkan
kepedulian pemerintah yang begitu mulia kepada rakyat sebagai warga masyarakatnya.
Begitu pula yang terjadi pada penyaluran PKH dan bantuan-bantuan lainnya yang
digulirkan untuk meringankan beban kehidupan rakyat.
Kemudian bagaimana
dengan program Pemberantasan Korupsi
yang telah dijadikan sebagai agenda utama sejak berdiri pemerintahan Reformasi
untuk dilaksanakan, bahkan pada tgl.9 Desember pada disetiap tahunnya telah
ditetapkan sebagai hari Pemberantasan Korupsi se-Dunia, ditabrakan dengan
diadakannya Pemilukada tidak langsung
maupun langsung, dimana Pemilukada
tidak langsung dengan Pekan Raya
Dagang Suaranya yang digelar oleh pihak DPRD dan Pemilukada langsung dengan Dagang
Sewa Perahu Bermerek Partai Politik atau bagi calon Kepala Daerah dari independen
diharuskan mengumpulkan sekian puluh
ribu foto copy KTP Pemilih. Belum lagi politik
uang sebagai senjata pemungkas
untuk mengumpulkan banyaknya peroleh suara.
Sedangkan terkait
dengan kenapa politik uang dikatakan sebagai senjata pemungkas dalam setiap
diadakannya pemilihan untuk memperoleh seorang calon pemimpin. Masalahnya dikarenakan
kemiskinan tercermin bagaikan ada
unsur sengaja dibiarkan terus membelenggu kehidupan sebagai besar rakyat oleh
sementara oknum, ditambah kebohongan
telah berulangkali terjadi dilakukan oleh sementara oknum pemimpin terdahulu,
membuat timbul rasa apatisme rakyat yang memilik hak pilih dimana sebagian
besarnya jadi pada akhirnya membuat sikap, mereka siap akan memilih seorang
pemimpin tanpa mau peduli siapa orang atau pasangan calon Kepala Daerah yang
akan dipilih, karena bagi mereka yang penting ada “SESAJEN” ada PILIHAN.
Maka
berdasarkan hal seperti apa yang telah diungkapkan diatas tersebut, mungkinkah
setelah mereka para pasangan calon Kepala Daerah dimaksud terpilih sebagai
pemenangnya dan tampil sebagai pemegang kebijakan dan kekuasaannya, dalam
menjalankan roda pemerintahannya sebagai Kepala Daerah mereka tidak akan
berusaha untuk “mengembalikan modal”
(COST) yang telah mereka keluarkan
untuk mendapatkan kedudukan sebagai Kepala Daerah.
Jika itu
terjadi dan dilakukan, lalu bagaimana dengan dana APBD yang ada, mungkinkah
sebagian dananya pada disetiap tahun anggarannya tidak akan mereka selewengkan
atau dikorupsi??? Seperti apa yang
terjadi ditempat dimana penulis berdominisili yaitu Kabupaten Pandeglang
Banten, dimana menurut pihak BPK-RI yang dituangkan pada hasil audit atas LKPD
TA.2006 No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007 dijelaskan, telah
terjadi penyimpangan pada dana APBD
Kabupaten Pandeglang TA.2003 s/d TA.2006 sebesar Rp.117.775.153.128,07.
Lalu bagaimana
dengan program pemberantasan korupsi dan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta UU-RI No.30 tahun 2002 yang dibentuk berdasarkan UU-RI No.31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan
UU-RI No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU-RI No.31 tahun tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Kemudian hari diperingatinya pemberantasan korupsi juga telah
ditetapkan yaitu pada tgl.9 Desember pada setiap tahunnya.
Mungkinkah
bisa membuahkan hasil seperti apa yang diharapkan, apalagi dikatakan tindak pidana korupsi harus diberantas hingga
keakar-akarnya seperti apa yang telah ditetapkan sebagai agenda utama berdirinya pemerintahan
Reformasi. Jika keberadaan system pemilihan Kepala Daerah telah ditetapkan harus
dilaksanakan melalui Pemilukada, dimana bagi calon Kepala Daerah sebelumnya
diharuskan untuk mau mengikuti digelarnya Pekan
Raya Dagang Suara oleh pihak DPRD setempat (Pemilukada tidak langsung), kemudian diubah menjadi Pemilukada langsung dengan Dagang Sewa Perahu Bermerek Partai Politik,
serta bagi calon Kepala Daerah
yang dari Independen diharuskan
mengumpulkan puluhan ribu foto copy KTP
pemilih.
Belum lagi “politik uang” yang sudah sempat
membudaya sejak diadakannya system
pemilihan tidak langsung, hingga membuat bagi calon Kepala Daerah yang
terpilih, walaupun biaya untuk penyelenggaraannya ditanggung oleh dana dari
APBD pemerintah setempat yang jumlahnya hingga puluhan milyar seperti pada
Pemilukada tahun 2015 yang akan diselenggarakan pada tgl.9 Desember 2015, tapi bagaimana
dengan biaya lain-lainnya yang tetap saja harus ditanggung oleh para calon
pasangan Kepala Daerah sehingga mungkinkah setelah mereka terpilih nanti,
mereka tidak akan berusaha untuk mengembalikan modal atau biaya yang telah mereka
keluarkan (COST). Oleh karenannya maka
tidaklah mengherankan jika kemudian terdengar adanya dana APBD atau dana bantuan
yang digulirkan kedaerah dimaksud dikabarkan ada yang diselewengkan atau
dikorupsi.
Korupsi Pun Jadi Semakin Merajalela
Sebagai dampaknya
maka tindak pidana korupsi pun akhirnya bisa jadi semakin merajalela bahkan virusnya
juga telah menyebar hingga merasuki kealam pedesaan, membuat banyak kalangan
jadi ikut-ikutan berkorupsi dengan dalih hanya
kecil-kecilan atau hanya sekedar
agar dapur mereka bisa tetap ngebul. Ini dapat terjadi dampak lemahnya dalam penegakan hukum
dilakukan oleh para pihak yang berwenang dalam penegakan hukum, karena virus
korupsinya ternyata juga telah merasuki kelembaga penegak hukum dimaksud.
Membuat keberadaan
hukum dan peradilan juga jadi tercermin bagaikan telah dijadikan “tempat ajang bisnis perkara” oleh
sementara oknum petugas penegak hukum yang miskin akhlak, hingga jadi lupa diri
akan tugas dan tanggung jawabnya selaku petugas penegak hukum, karena oknum
dimaksud telah terlena oleh nikmatnya berkolusi dengan para koruptornya. Maka
pemberantasan
korupsi pun jadi
semakin sulit untuk dilaksanakan, apalagi hingga mencapai seperti apa yang
diharapkan atau yang telah ditetapkan sebagai agenda utama untuk diberantas
oleh sejak berdirinya pemerintahan Reformasi yaitu sampai keakar-akarnya.
Lalu
bagaimana dengan hari Pemberantasan Korupsi se-Dunia yang diperingati pada
tgl.9 Desember pada disetiap tahunnya, apakah acara dimaksud dilaksanakan jadi
hanya bagaikan acara serimonial saja. Karena pada faktanya tindak pidana
korupsi bukannya jadi berkurang, tapi malah jadi semakin merajalela hingga
keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga jadi bagaikan diobok-obok
oleh sementara kalangan yang telah merasakan betapa nikmatnya melakukan tindak
pidana korupsi atau berkolusi dengan para koruptor.
Untuk itu
penulis menyarankan bukankah sebaiknya Pemilukada
ditiadakan, dimana untuk jabatan Kepala Daerah dikembalikan lagi kepada
system yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru yaitu ditunjuk langsung oleh Mendagri, dimaksudkan agar yang namanya mengembalikan modal (COST) tidak akan
terjadi dilakukan oleh Kepala Daerah yang terpilih pada dilaksanakannya
Pemilukada dimaksud. Disamping pengkotak-kotakan
yang membuat rasa persatuan dan
kesatuan dikalangan masyarakat dan para tokohnya, serta PNS dan para
pejabatnya yang ada didaerah juga dapat dihindari jika Pemilukada dimaksud
ditiadakan.
Karena
dampaknya juga telah membuat Kesetiakawanan
Sosial yang telah terbentuk dengan semangat gotong royongnya bisa jadi
memudar, contoh untuk hari diperingatinya kini juga tidak lagi pernah terdengar
dilaksanakan, terakhir disekitar tahun 2006 dimana acara diperingatinya pada
waktu itu dipusatkan di Kabupaten Pandeglang Banten dengan dihadiri oleh dua
orang Menteri yaitu Menteri Kesejahteraan Rakyat Abu Rizal Bakri dan Menteri
Sosial Zarkasi Nur, dimana dilaksanakan hari Kesetiakawanan Sosial dimaksudkan
sebagai wadah untuk mengentalkan rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, dan sekaligus dapat pula sebagai “pencegah” terjadinya jurang pemisah antar
simiskin dengan sikaya bisa jadi semakin
melebar.
Bahkan oleh
kedua orang menteri tersebut pada dilaksanakannya acara bertempat dialun-alun
Kabupaten Pandeglang, menyempatkan menyerahkan dana bantuan sebesar Rp.1 Milyar kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Pandeglang, dimaksudkan guna membantu direhabnya badan jalan penghubung antar Kecamatan
Pagelaran dengan Patia, karena dikanan kiri badan jalan tersebut terdapat
bentangan areal sawah tadah hujan ratusan hektar luasnya (lumbung padi) yang nantinya bisa diharapkan untuk mengatasi bila
terjadi adanya krisis pangan, oleh karenannya badan jalan yang ada didaerah
tersebut dianggap perlu untuk direhab apalagi kondisinya memang telah rusak
parah.
Tapi sayangnya
oleh pemegang kebijakan dan kekuasaannya yang ada di Kabupaten Pandeglang, dana
dimaksud penggunaannya malah diselewengkan
untuk keperluan membantu pembangunan rumah orang jompo yang ketua
pelaksanaannya dijabat oleh Hj.Irna Narulita,SE,MM istri Bupati Pandeglang yang
nilainya dikabarkan hanya disekitar puluhan juta saja.
Sedangkan
sisanya menurut penjelasan yang disampaikan oleh Kabag Sosial Kabupaten
Pandeglang yang pada waktu itu dijabat oleh Drs.H.Bay Sumarta yang kini telah
pensiun kepada penulis yaitu, dialihkan untuk
keperluan di Dinas Pendidikan dan PU Kabupaten seperti untuk merehab
beberapa bangunan gedung sekolah SDN yang kondisinya dianggap telah rusak parah,
juga sebagian badan jalan yang kondisinya juga telah rusak parah tanpa
menyebutkan nama SDN dan badan jalan yang direhab dimaksud.
Tindak
penyelewengan tersebut dilakukan dimaksudkan untuk menutupi sebagian janji-janji
politik pemegang kebijakan dan kekuasaannya disaat menghadapi dilaksanakannya Pemilukada tidak langsung dengan Pekan Raya
Dagang Suaranya yang digelar oleh pihak DPRD setempat pada tahun 2000,
dimana .H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH tampil sebagai pemenangnya.
Dilanjutkan dengan
Pemilukada langsung dengan Dagang Sewa
Perahu Bermerek Partai Politik yaitu PDI Perjuangan dan PPP pada tahun 2005,
dimana H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH kembali tampil sebagai pemenangnya
hingga jabatan sebagai Kepala Daerah dipegangnya jadi selama dua priode yaitu
tahun 2000 s/d 2005 dan tahun 2005 s/d tgl.1 Juli 2009 sesuai surat pengunduran
diri H.Achmad Dimyati Natakusumah,SH,MH,MSi sebagai Bupati Pandeglang,
dikarenakan akan dilantik sebagai anggota DPR-RI priode tahun 2009 s/d 2014.
Pinjaman Daerah Rp.200 Milyar Diselewengkan
Ternyata bukan
hanya dana bantuan dari kedua orang Menteri yang diselewengkan dalam
penggunaannya dan dana dari APBD Kabupaten Pandeglang, tapi juga pada
dilakukannya pinjaman daerah Pemkab Pandeglang sebesar Rp.200 Milyar dari Bank
Jabar-Banten Cabang Kabupaten Pandeglang Banten dilakukan pada tahun 2006, dimana
pinjaman tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan dikatakan untuk percepatan pembangunan dalam rangka mengejar
ketertinggalan Kabupaten Pandeglang dalam pembangunan khususnya dibidang
inprastruktur.
Oleh
karenannya pada usulan penggunaan dari dilakukannya pinjaman daerah dimaksud seperti
yang tertera pada surat ususlan yang disampaikan ke Mendagri Up.Dirjen Bina
Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) untuk pembangunan
dan penataan air panas/Cisolong SPA, pengadaan alat berat pendukung AMP,
penataan pasar dan sub terminal Anten, dikatakan masuk dalam kategori kegiatan yang menghasilkan penerimaan dan
juga berfungsi sebagai fasilitas pelayanan umum, sehingga harus dapat
menghasilkan penerimaan dan memberikan kontribusi dalam pendapatan daerah untuk pembayaran kembali pinjaman daerah.
Sedangkan
usulan penggunaannya juga didukung oleh surat dari Bupati Pandeglang
H.A.Dimyati Natakusumah,SH,MH dengan No.903/142-BPKD/2006 tertanggal 2 Pebuari 2006 ditujukan kepada Mendagri
Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) yang pada waktu itu dijabat
oleh Daeng M.Nasir. Dimana isi dari surat tersebut ditemukan adanya kebohongan pada data-data seperti,
dikatakan kami sampaikan permohonan
pertimbangan dengan dokumen-dokumen poin-2. APBD Tahun Anggaran 2006 dan poin-5. Surat Persetujuan DPRD. Karena APBD
TA.2006 baru disahkan pada tgl.2 Maret 2006 dan Surat Persetujuan DPRD baru dibuat pada tgl.22 Agustus 2006,
sehingga bagaimana mungkin pada tgl.2 Pebuari 2006 dokumennya dikatakan
bagaikan telah ada dan jika benar itu ada, berarti dokumen dimaksud palsu.
Kemudian
Pemkab Pandeglang dikatakan berdasarkan surat dari Bupati Pandeglang H.Achmad
Dimyati Natakusumah,SH,MH dengan surat No.900/836-UM/2006 tanggal 7 Juli 2006,
isinya diantaranya dikatakan tidak
mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah
sehingga oleh pihak Mendagri Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD)
melalui suratnya dengan No.588/989/BAKD tgl.25 September 2006 menyetujui
dilakukannya pinjaman daerah Pemkab Pandeglang sebesar Rp.200 Milyar. Padahal
menurut hasil audit dari pihak BPK-RI atas LKPD TA.2006
No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007, Pemkab Pandeglang mempunyai saldo utang kepada pemerintah Pusat yang
tercantum dalam neraca awal per-31 Desember 2005 senilai Rp.550 Juta.
Disamping itu
setelah surat balasan diterima oleh pihak Pemkab Pandeglang dari Mendagri
Up.Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) tersebut, pada penggunaannya malah diubah jadi untuk
pembangunan jalan melalui Dinas PU sebesar Rp.153 Milyar dan gedung SDN melalui
Dinas Pendidikan sebesar Rp.47 Milyar. Dimana pada pencairannya ditemukan
adanya dana yang diselewengkan hingga mencapai puluhan milyar dan juga pada penggunaannya.
Belum lagi
pada kasus suap kepada 45 orang anggota
DPRD Kabupaten Pandeglang, dalam rangka persetujuan pinjaman Pemkab Pandeglang
sebesar Rp.200 Milyar ke Bank Jabar-Banten Cabang Kabupaten Pandeglang Banten sebesar Rp.1,5 Milyar yang walaupun
untuk kasus suapnya telah
dianggap
selesai sesuai surat dari Mahkamah Agung-RI No.196/Pan.Pid.Sus/4 K/PID.SUS/2010
tgl.27 Januari 2011 atas nama H.A.Wadudi Nurhasan,S.Sos dimana dijelaskan juga
bahwa, berkas perkaranya dikembalikan
kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk digunakan dalam perkara lain.
Tapi sayangnya
perkara lain dimaksud pada
kenyataannya tercermin bagaimana ingin disirnakan seiring berlalunya waktu oleh
pihak yang dipercaya untuk menangani kasus tersebut, diantaranya kasus
penyimpangan pada dana yang digunakan untuk menyuap 45 orang anggoa DPRD
Kabupaten Pandeglang yang diambil dari dana belanja penyertaan modal sebesar
Rp.12,5 Milyar, berdasarkan kebijakan dari Bupati Pandeglang H.Achmad Dimyati
Natakusumah,SH,MH yang menurut pihak BPK-RI atas LKPD TA.2006
No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007 menjelaskan bahwa, tindakan
tersebut menyimpang dari Permendagri No.13 tahun 2006 Pasal 122 ayat 9 yang
menyatakan bahwa, setiap SKPD dilarang
melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang
telah ditetapkan dalam APBD.
Sedangkan
dana belanja penyertaan modal tersebut diambil dari rekening Kasda DAU, dengan rincian
untuk penyertaan modal kepada Koperasi KPM untuk simpan pinjam Koperasi sebesar
Rp.500 Juta dan ditempatkan dalam deposito di Bank BRI sebesar Rp.2 Milyar dan
pada tgl.28 Desember 2006 dikembalikan lagi ke Kasda sebesar Rp.2 Milyar. Sisanya
digunakan untuk penyertaan modal kepada Bank Jabar-Banten sebesar Rp.10 Milyar
dan pada tgl.29 Desember 2006 dikembalikan lagi ke Kasda sebesar
Rp.10.275.064.643,- melalui surat No.973/474-BPKD/XII/2006.
Oleh pihak
BPK-RI yang dituangkan pada LHP BPK-RI atas LKPD TA.2006
No.19b/LHP/XIV.3-XIV.3.3/06/2007 tgl.8 Juni 2007 juga dijelaskan bahwa, terkait
pada untuk penggunaan dana penyertaan modalnya yang ada di Kasda DAU dan Kasda
BRI, hanya bisa dilakukan oleh
pihak-pihak yang mempunyai akses di BRI.
Pemerintahan Yang Bersih Berwibawa dan Bebas
Dari Korupsi
Lalu
bagaimana dengan harapan dari Presiden-RI Bapak Ir.H.Joko Widodo yaitu, ingin
menciptakan adanya suatu pemerintahan
yang bersih berwibawa dan bebas dari korupsi dapat terwujud, jika system
Pemilukada yang dapat mengundang terjadinya tindak penyelewengan atau korupsi
dibiarkan terus diberlakukan, seperti dengan adanya keharusan untuk
mengembalikan modal (COST), apalagi bagi calon Kepala Daerah yang modalnya diperoleh
dari hasil ngutang atau kontrak politik.
Belum lagi
politik uang dikarenakan adanya sikap apatisme rakyat selaku yang mempunyai hak
pilih dikarena factor belenggu kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan
terus melingkari dikehidupannya, ditambah mereka selalu mengalami dicekoki
dengan kebohongan- kebohongan dilakukan
oleh para Kepala Daerah terdahulu, maka rakyat akhirnya bersikap “ada sesajen ada pilihan”. Jika sudah
demikian adanya, lalu bagaimana dengan kedudukan sebagai Kepala Daerah-nya,
bisa-bisa hanya diduduki oleh orang-orang yang mempunyai banyak uang dan
memiliki kekuasaan, sementara bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang dan
punya kekuasaan walaupun memiliki kemampuan untuk tampil sebagai seorang
pemimpin, maka mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk tampil sebagai
seorang pemimpin karena sikon tidak berpihak kepadanya.
Oleh karena
Pemilukada masih diberlakukan seperti apa yang akan dilaksanakan pada tgl.9
Desember 2015, maka penulis hanya bisa menyampaikan himbauan kepada yang
mempunyai hak pemilih agar berhati-hatilah dalam menentukan pilihannya, jangan
hanya dikarenakan “sekeping uang dan
sekantung makanan serta minuman”, lalu pilihan dijatuhkan kepada calon
pemimpin yang memberikannya. Padahal itu sifatnya
hanya sesaat penghilang lapar dan dahaga. Sedangkan dampaknya dari bila
salah dalam memilih kesengsaraan yang akan didapat jadi akan semakin berkepanjang
yaitu selama lima tahun kedepan. =
Komentar
Posting Komentar